Sabtu, 01 Oktober 2011

Batik Indonesia

Batik

 
Batik adalah salah satu cara pembuatan bahan pakaian. Selain itu batik bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah teknik pewarnaan kain dengan menggunakan malam untuk mencegah pewarnaan sebagian dari kain. Dalam literatur internasional, teknik ini dikenal sebagai wax-resist dyeing. Pengertian kedua adalah kain atau busana yang dibuat dengan teknik tersebut, termasuk penggunaan motif-motif tertentu yang memiliki kekhasan. Batik Indonesia, sebagai keseluruhan teknik, teknologi, serta pengembangan motif dan budaya yang terkait, oleh UNESCO telah ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) sejak 2 Oktober, 2009
  
Sejarah Batik di Indonesia

 Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerjaan Solo dan Yogyakarta.

        Jadi kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerjaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjaungan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedangan Muslim melawan perekonomian Belanda.

        Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

        Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga kraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

        Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai tediri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanahlumpur.

        Jaman MajapahitBatik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majahit, pat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojoketo adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit. Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan didaerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

        Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.
Cinta dalam Selembar Batik

 Memahami batik berarti mengenal tingginya nilai warisan budaya yang layak dibanggakan. Karenanya, menjadi ironi bila sampai saat ini dokumentasi audiovisual tentang batik Indonesia masih relatif jarang. Dalam konteks itu, upaya Nia Dinata memproduksi film dokumenter Batik, Our Love Story patut dihargai.
Film ini mengisahkan batik sebagai ekspresi cinta yang didedikasikan oleh para pembuatnya. Ditampilkan sejumlah pembuat batik legendaris dari beberapa sentra batik, seperti Pekalongan, Cirebon, Yogyakarta, Solo, Lasem, dan Madura.
Liem Poo Hien di Pekalongan, misalnya, bukan hanya mewarisi rumah batik yang dibangun orangtua dan kakek neneknya. Ia juga menyerap semangat, ketekunan, dan kecintaan para perintis batik china peranakan dan batik hokokai itu hingga tetap bisa memproduksi batik sampai hari ini.
Hal yang sama dilakukan Widianti Widjaya yang meneruskan rumah batik Oey Soe Tjoen. Widianti, misalnya, masih mewarnai sendiri batik yang ia produksi tanpa sarung tangan. ”Karena susah merasakan kelendirian air keras pewarnanya kalau pakai sarung tangan. Jadi enggak bisa sering-sering juga. Diwarnai sekalian kalau sudah agak banyak batiknya,” ujarnya.
Di Pekalongan, Sugeng Madmil, yang meneruskan usaha batik orangtuanya, mengisahkan minat orang untuk membeli batik koleksi yang ia warisi, di antaranya ada yang berumur 200 tahun. Hanya orang gila yang tidak butuh uang, katanya, tetapi kecintaan pada batik membuat Sugeng yakin tak akan pernah melepaskan batik-batik itu.
Banyak cerita
Para pembuat batik yang penuh cinta ini juga mengungkapkan kegalauan bahwa tak banyak anak muda yang berminat menekuni keterampilan membatik, apalagi menjadikan batik sebagai sandaran sepanjang usia. Sedikit disiratkan dalam film dokumenter ini ketidaksejahteraan para buruh pembatik.
Kata Widianti, fasilitas untuk membatik saja pemerintah tak menjamin. ”Jadi, mimpilah kalau pembatik bisa menjamin anak-anaknya akan tetap membatik,” ujarnya. Minyak tanah, bahan untuk bikin malam, dan kain mori, misalnya, bisa melonjak mahal harganya dan susah didapat.
Di Lasem, kelompok usaha bersama pembuat batik di Desa Jeruk bisa mengubah nasib dari sekadar buruh pembatik menjadi pengusaha—meski tak terceritakan bagaimana itu dilakukan. Mereka juga mendidik anak-anak kecil membatik. Namun, sebagian besar anak-anak itu tak meneruskan pelajaran membatik begitu mereka beranjak remaja.
Dalam bahasa gambar, film ini bertutur dengan baik. Namun, banyaknya ide yang ingin disampaikan memang menyulitkan semua tuntas tersampaikan. Cerita tentang bagaimana motif batik menggambarkan kondisi lingkungan, ingatan suka dan duka, juga doa dan harapan, misalnya, belum sepenuhnya tergambar.
Belum tersampaikan pula kekhasan yang membawa selembar kain batik menjadi legenda, misalnya, pada batik-batik Oey Soe Tjoen, Liem Ping Wie, atau Sigit Witjaksono. sumber: kompas cetak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar